Minggu, 17 April 2011

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)



      Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa.
Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan bagian barat Pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.
Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.
Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi burung ini cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran jalak Bali.
Jalak Bali dinilai statusnya sebagai kritis di dalam IUCN Red List serta didaftarkan dalam CITES Appendix I.

Sejarah
     Pertama kali dilaporkan penemuannya oleh Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggris pada tanggal 24 Maret 1911. Atas rekomendasi Stressmann, Dr. Baron Victor Von Plessenn mengadakan penelitian lanjutan (tahun 1925) dan menemukan penyebaran burung Jalak Bali mulai dari Bubunan sampai dengan Gilimanuk dengan perkiraan luas penyebaran 320 km2. Pada tahun 1928 sejumlah 5 ekor Jalak Bali di bawa ke Inggris dan berhasil dibiakkan pada tahun 1931. Kebun Binatang Sandiego di Amerika Serikat mengembangbiakkan Jalak Bali dalam tahun 1962 (Rindjin, 1989).

Status
  • Sejak tahun 1966, IUCN ( International Union for Conservation of Natur and Natural Resources) telah memasukan Jalak bali ke dalam Red Data Book, yaitu buku yang memuat jenis flora dan fauna yang terancam punah.
  • Dalam konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) Jalak bali ter daftar dalam Appendix I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan.
  • Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970, yang menerangkan antara lain burung Jalak Bali dilindungi undang-undang.
  • Dikatagorikan sebagai jenis satwa endemik Bali, yaitu satwa tersebut hanya terdapat di Pulau Bali (saat ini hanya di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat), dan secara hidupan liar tidak pernah dijumpai dibelahan bumi manapun di dunia ini.
Oleh Pemerintah Daerah Propinsi Bali dijadikan sebagai Fauna Symbol Propinsi Bali.
Dalam Biologi, Jalak Bali mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Phylum (Chordata), Ordo (Aves), Family (Sturnidae), Species (Leucopsar rothschildi Stressmann 1912) dengan nama lokal Jalak Bali, Curik Putih, Jalak Putih Bali

Morfologi
Adapun ciri-ciri/karakteristik dari Jalak Bali dapat dikemukakan sebagai berikut :
  • Bulu
    Sebagian besar bulu Jalak Bali berwarna putih bersih, kecuali bulu ekor dan ujung sayapnya berwarna hitam.
  • Mata
    Mata berwarna coklat tua, daerah sekitar kelopak mata tidak berbulu dengan warna biru tua.
  • Jambul
    Burung Jalak Bali mempunyai jambul yang indah, baik pada jenis kelamin jantan maupun pada betina.
  • Kaki
    Jalak Bali mempunyai kaki berwarna abu-abu biru dengan 4 jari jemari (1 ke belakang dan 3 ke depan).
  • Paruh
    Paruh runcing dengan panjang 2 - 5 cm, dengan bentuk yang khas dimana pada bagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak. Warna paruh abu-abu kehitaman dengan ujung berwarna kuning kecoklat-coklatan.
  • Ukuran
    Sulit membedakan ukuran badan burung Jalak Bali jantan dan betina, namun secara umum yang jantan agak lebih besar dan memiliki kuncir yang lebih panjang.
Telur
Jalak Bali mempunyai telur berbentuk oval berwarna hijau kebiruan dengan rata-rata diameter terpanjang 3 cm dan diameter terkecil 2 cm.

Musim Berbiak di Habitat
Di habitat (alam) Jalak Bali menunjukkan proses berbiak pada periode musim penghujan, berkisar pada bulan Nopember sampai dengan Mei.

Habitat, Penyebaran dan Populasi
Habitat terakhir Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat hanya terdapat di Semenanjung Prapat Agung (tepatnya Teluk Brumbun dan Teluk Kelor). Hal ini menarik karena dalam catatan sejarah penyebaran Jalak Bali pernah sampai ke daerah Bubunan - Singaraja (± 50 km sebelah Timur kawasan.www.tnbalibarat.com

Anjing Kintamani

      
      Anjing Kintamani adalah ras anjing yang berasal dari daerah pegunungan Kintamani, pulau Bali. Anjing yang memiliki sifat pemberani ini sudah lama mulai dibiakan sehingga dapat diakui oleh dunia internasional. Secara fenotipe Anjing Kintamani mudah dikenal, dapat dibandingkan dengan jelas antara Anjing Kintamani dengan anjing-anjing lokal yang ada, ataupun anjing hasil persilangan antara ras yang sama maupun persilangan lainnya. Standar fenotipe Anjing Kintamani meliputi ciri-ciri umum, sifat-sifat umum, tinggi badan hingga ke gumba, dasar pigmentasi kulit, bentuk kepala, telinga, mata, hidung, gigi, bentuk leher, bentuk badan, kaki dan ekor mempunyai kesamaan. Perbedaannya pada distribusi warna bulu dan ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1994. Standar ini dipakai sebagai acuan dasar pada setiap kontes anjing dan pameran Anjing Kintamani dan telah mendapat pengakuan PERKIN (Dharma.M.N. Dewa; PudjiRahardjo; Kertayadnya I.G, 1994.).

Standarisasi

      Untuk memperoleh standar Anjing Kintamani diperlukan pengamatan dan penelitian yang terus menerus dan berkelanjutan. Gambaran sementara yang dapat dilihat dari keunggulan Anjing Kintamani dari hasil pengamatan lapangan dan hasil pemuliabiakan pada Anjing Kintamani yang berbulu putih spesifik dapat diuraikan sebagai berikut:

Ciri-ciri umum

Anjing ini dapat digolongkan dalam kelompok anjing pekerja dengan ukuran sedang, memiliki keseimbangan tubuh dan proporsi tubuh yang baik dengan pertulangan kuat yang dibungkus oleh otot yang kuat, sebagai anjing pegunungan memiliki bulu yang panjang (moderat) dengan warna putih spesifik, hitam atau cokelat. Pengelompokan dalam sistem FCI, anjing Kintamani masuk dalam group V karena memiliki ciri-ciri anjing spitz dan tipe primitif seperti Chow Chow, Basenji, dan Samoyed.

Sifat-sifat umum

Anjing Kintamani memiliki sifat pemberani, tangkas, waspada dan curiga yang cukup tinggi. Merupakan anjing penjaga yang cukup handal, sebagai pengabdi yang baik terhadap pemiliknya, loyal terhadap seluruh keluarga pemilik dan tidak lupa pada pemilik atau perawatnya. Anjing Kintamani (Bali) suka menyerang anjing atau hewan lain yang memasuki wilayah kekuasaannya dan juga menggaruk-garuk tanah sebagai tempat perlindungan. Pergerakannya bebas, ringan dan lentur.

Bentuk kepala

Kepala bagian atas lebar dengan dahi dan pipi datar, moncong proporsional dan kuat terhadap ukuran bentuk kepala, rahang tampak kuat dan kompak, memiliki gigi-gigi kuat dengan gerakan gigi seperti menggunting, bibir berwama hitam atau cokelat tua. Telinganya tebal, kuat, berdiri berbentuk “V” terbalik dengan ujung agak membulat. Jarak antara kedua telinga cukup lebar, panjang telinga kurang lebih sama bila dibandingkan dengan jarak antara dasar dua telinga bagian dalam dengan sudut mata luar.
Mata berbentuk lonjong seperti buah almond dengan bola mata berwarna cokelat gelap dan bulu mata berwarna putih. Hidung berwarna hitam atau coklat tua dan warna hidung ini sering berubah karena penambahan umur dan musim.
Untuk mempercepat pengakuan dari Federasi Kinologi Internasional, dalam memenuhi persyaratan perlu upaya-upaya secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu upaya adalah meneliti hubungan antara stuktur dan profil DNA distribusi warna bulu putih spesifik secara genotip dengan fenotip warna bulu putih spesifik pada Anjing Kintamani.
Distribusi warna bulu pada Anjing Kintamani dapat dikelompokkan menjadi 4 macam yaitu:
  1. Warna bulu putih sedikit kemerahan dengan warna coklat-kemerahan pada telinga, bulu di bagian belakang paha dan ujung ekornya.
  2. Warna hitam mulus atau dengan dada putih sedikit.
  3. Warna coklat muda atau cokiat tua dengan ujung moncong kehitaman, sering disebut oleh masyarakat sebagai warna Bang-bungkem.
  4. Warna dasar coklat atau coklat muda dengan garis-garis warna kehitaman, yang oleh masyarakat disebut warna poleng atau anggrek.

Tinggi dan bentuk badan

Anjing Kintamani jantan mempunyai tinggi 45 cm sampai 55 cm dan anjing betina 40 cm sampai 45 cm. Dengan warna bulu kebanyakan berwarna putih spesifik (sedikit kemerahan) dengan warna merah kecoklatan (krem) pada ujung telinga, ekor dan bulu di belakang paha. Warna lainnya adalah hitam mulus dan cokelat dengan moncong berwarna hitam (bangbungkem), pigmentasi kulit, hidung, bibir kelopak mata, skrotum, anus dan telapak kaki berwarna hitam atau cokelat gelap.
Lehernya tampak anggun dengan panjang sedang, kuat dengan perototan yang kuat pula. Dada dalam dan lebar, punggung datar, panjangnya sedang dengan otot yang baik. Badan anjing betina relatif lebih panjang dari jantan. Anjing Kintamani (Bali) memiliki bulu krah (badong) panjang berbentuk kipas di daerah gumba, makin panjang bulu badong makin baik.
Kaki agak panjang, kuat dan lurus jika dilihat dan depan atau belakang. Tumit tanpa tajir, gerakan kaki ringan. Ekor memiliki bulu yang bersurai, posisinya tegak membentuk sudut 45 derajat atau sedikit melengkung tetapi tidak jatuh atau melingkar di atas pinggang atau jatuh ke samping. Makin panjang bulu ekor makin baik .

STRONGYLOIDIASIS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
            Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang berpotensi mematikan. Spesies pada manusia adalah Strongyloides fuelleborni ditemukan secara sporadis di Afrika dan Papua Nugini. karakteristik khas dari parasit ini adalah kemampuannya untuk bertahan dan mereplikasi dalam host sambil menyebabkan infeksi yang mematikan dalam sebuah host immunocompromised. Infeksi manusia diperoleh melalui penetrasi kulit utuh oleh larva filariform selama kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan kotoran manusia. Larva kemudian masuk ke sirkulasi dan dilakukan hematogenously ke paru-paru, di mana mereka memasuki ruang alveolar. Ketika mereka mencapai usus kecil, cacing ini tumbuh menjadi betina dewasa kira 2 X 0,05 mm diameter ( Pranatharthi, 2009 ).
            Penyakit ini dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi, dan anjing. umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas jejunum. Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Gejala lain yaitu batuk, ronki, kadang-kadang pneumonitis jika larva masuk ke paru-paru atau muncul gejala-gejala abdomen yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus. Gejala infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat. Strongyloidiasis disebabkan oleh Nematoda Strongyloides. ( Concha R dkk,2005 ).
            Cacing ini disebut cacing benang . Cacing dewasa dapat bersifat parasit maupun bebas. Bentuk parasitic panjangnya 2-9 mm dan hanya cacing betina yang bersifat partenogenetik. Bentuk bebas di temukan adanya cacing jantan dan cacing betina ,cacing ini sangat kecil dan relative kuat, dengan esophagus rabditiform. Ekor cacing jantan pendek dan berbentuk kerucut, sepasang spikulum pendek sama besar dan sebuah gubernakulum. Ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung, vulva terletak dekat pertengahan tubuh, uterus amfidelf, dan telurnya sedikit serta telah berembrio pada waktu di keluarkan , kadang cacing betina viviparosa ,terdapat sekitar 40 jenis cacing dalam genis ini , kebanyakan berada pada mamalia ( Norman D.Levine,1994 ).
1.2 RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimanakah siklus hidup cacing Strongyloides?
  2. Bagaimanakah etiologi dari Cacing Strongyloides?
  3. Bagaimanakah Epidemiologi penyakit Strongyloidiasis?
  4. Bagaimanakah cara penularan Penyakit Strongyloidiasis?
  5. Bagaimanakah Patogenesa dari Penyakit Strongyloidiasis?
  6. Bagaimanakah tanda- tanda klinis jika hewan dan manusia terjangkit Strongyloidiasis?
  7. Bagaimanakah cara mendiagnosa Penyakit Strongyloidiasis?
  8. Apakah tindakan ( pencegahan dan pengobatan ) agar hewan dan manusia terbebas dari Penyakit Strongyloidiasis?
1.3 TUJUAN PENULISAN
  1. Agar dapat mengetahui siklus hidup dari cacing Strongyloides.
  2. Agar dapat mengetahui Etiologi dari cacing Strongyloides sp.
  3. Agar dapat mengetahui Epidemiologi dari Penyakit Strongyloidosis.
  4. Agar dapat mengetahui bagaimana cara penularan penyakit Strongyloidosis.
  5. Agar dapat mengetahui Patogenesa dari penyakit Strongyloidosis.
  6. Agar bisa mengetahui bagaimana tanda – tanda klinis jika hewan dan manusia terjangkit Penyakit Strongyloidosis.
  7. Agar dapat mengetahui cara mendiagnosa Penyakit Strongyloidiasis.
  8. Agar dapat mengetahui tindakan apa yang sebaiknya yang di lalukan untuk mencegah  dan mengobati Penyakit Strongyloidiasis.

 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 STRONGYLOIDIASIS
            Strongyloidiasis adalah penyakit parasit manusia yang disebabkan oleh nematoda ( cacing gelang ) Strongyloides. Strongyloides infeksi harus ditangani bahkan tanpa adanya gejala sebagai sindrom hyperinfection membawa tingkat kematian tinggi. strongyloidiasis yang menyebar memerlukan pengobatan selama minimal 7 hari atau sampai parasit tidak bisa lagi diidentifikasi dalam spesimen klinis ( Carpenter A E R,2008 ).
 
 
2.2 SIKLUS HIDUP
      Strongyloides siklus hidup ini lebih kompleks dibandingkan dengan nematoda yang lainnya dan potensinya untuk autoinfection dan perkalian di dalam host. Cacing ini mempunyai dua siklus hidup antara lain
 
·         Hidup siklus Gratis:
                 Larva rabditiform berlalu dalam tinja bisa meranggas dua kali dan menjadi larva infektif filariform ( pengembangan langsung ) atau meranggas empat kali dan menjadi dewasa jantan yang hidup bebas dan perempuan yang kawin dan menghasilkan telur yang menetas larva dari rabditiform. Yang terakhir pada gilirannya bisa berkembang menjadi generasi baru dewasa hidup bebas, atau menjadi larva infektif filariform. Larva filariform menembus inang manusia kulit untuk memulai siklus parasit ( Norman D.Levine,1994 ).
·         Parasit siklus:
                 Larva filariform dalam terkontaminasi tanah menembus kulit manusia, dan diangkut ke paru-paru di mana mereka menembus alveolar ruang, mereka dibawa melalui bronkial pohon ke faring, ditelan dan kemudian mencapai usus kecil. Dalam usus kecil mereka meranggas dua kali dan menjadi wanita dewasa cacing. Perempuan yang tinggal ulir di epitel dari usus kecil dan dengan partenogenesis menghasilkan telur, yang menghasilkan larva rabditiform.
                       Larva rabditiform bisa dilalui dalam tinja (lihat "siklus Free-hidup" di atas), atau dapat menyebabkan autoinfection. Dalam autoinfection, larva rabditiform menjadi larva infektif filariform, yang dapat menembus baik mukosa usus (autoinfection internal) atau kulit daerah perianal (autoinfection eksternal), dalam hal baik, larva filariform dapat mengikuti rute yang telah diuraikan sebelumnya, sedang dilakukan berturut-turut ke paru-paru, pohon bronkial, tekak, dan usus kecil di mana mereka tumbuh menjadi dewasa, atau mereka mungkin menyebarkan secara luas di tubuh. Sampai saat ini, terjadinya autoinfection pada manusia dengan infeksi kecacingan diakui hanya dalam stercoralis Strongyloides dan philippinensis Capillaria infeksi. Dalam kasus Strongyloides, autoinfection dapat menjelaskan kemungkinan infeksi terus-menerus selama bertahun-tahun pada orang yang belum di daerah endemik dan hyperinfections pada individu penurunan kekebalan tubuh.
2.3 ETIOLOGI
        Strongyloides papillosus terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus domba, kambing, sapi, berbagai ruminansia lain, dan berbagai hewan lain. Cacing ini lebih banyak terdapat pada hewan muda daripada dewasa. Cacing betina parthenogenetik parasitic panjangnya 3,5 – 6,0 mm dan berdiameter 50 – 65 mikron dan menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis dan berembrio berukuran 40-64 X 20-42 mikron. Cacing jantan hidup bebas panjangnya 700-825 mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernaculum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 640-1200 mikron, dengan telur berkulit tipis, telah berembrio, 42-48 x 23-30 mikron. Masa prepatan 7-9 hari.
Strongyloides ransomi terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus babi, cacing betina partenogenetik parasitic panjangnya 3,3-4,5 mikron dan berdiameter 54-62 mikron, dan menghasilkan telur telah berembrio berbentuk elips,berkulit tipis, berukuran 45-55 x 26-35 mikron. Cacing jantan hidup bebas mempunyai panjang 868-899 mikron dengan spikulum melengkung yang panjangnya 26-29 mikron dan gubernakulum dengan panjang 18-19 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 1,0 – 1,1 mm. masa prepaten adalah 3-7 hari.
Strongyloides westeri terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus kuda, keledai, dan zebra. Cacing ini biasanya tidak banyak terdapat. Cacing betina parasitic panjangnya 8-9 mm dan berdiameter 80-95 mikron ,mereka menghasilkan telur berembrio berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 40-52 x 32-40 mikron. Masa prepaten sekitar 2 minggu.
Strongyloides stercoralis sangat umum terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus anjing ,kucing, manusia dan berbagai mamalia lain. Cacing betina parasitic panjangnya 1,7-2,7 mm dan berdiameter 30-40 mikron. Mereka menghasilkan telur berembrio 55-60 x 40-50 mikron yang cepat sekali menetas sehingga larva stadium pertama terdapat pada tinja. Cacing jantan hidup bebas panjangnya 650-1000 mikron dan berdimeter 40-50 mikron dan sebuah gubernakulum. Cacing betina hidup bebas mempunyai panjang 0,9-1,7 mm dan berdiameter 51-84 mikron dan menghasilkan telur berembrio berkulit tipis, berukuran 58-60 x 40-42 mikron masa prepaten 8-17 hari atau lebih.
Strongyloides avium terdapat di Amerika Utara dan india pada sekum dan usus halus ayam atau burung lain. Cacing ini jarang terdapat di daerah dingin. Cacing betina parasitic panjangnya 2,2 mm dan berdiameter 40-45 mikron dan menghasilkan telur yang berukuran 52-56 x 36-40 mikron. Cacing jantan hidup bebas sekitar 780 mikron dan mempunyai spikulum dengan panjang sekitar 30 mikron. Cacing betina hidup bebas sekitar 860 mikron dan menghasilkan telur 48 x 22 mikron ( Norman D.Levine,1994 ).
2.4 EPIDEMIOLOGI
            Strongyloidiasis ini endemik di daerah tropis dan subtropis dan terjadi secara sporadis di daerah beriklim sedang. Di daerah tropis dan subtropis prevalensi daerah secara keseluruhan dapat melebihi 25 persen. Tingkat infeksi tertinggi di Amerika Serikat adalah di antara penduduk dari negara-negara tenggara dan di antara individu -individu yang telah di daerah endemik ( termasuk imigran, pengungsi, wisatawan dan personil militer) ( Posey dkk,2007 ).
            Sebuah penelitian di Kanada, pengungsi Asia Tenggara diidentifikasi seroprevalensi strongyloidiasis antara Kampucheans, Laos, dan Vietnam ( 76,56,dan 12%, masing-masing ) ( Gyorkos,1990 ). Dalam studi lain, lebih dari 40 persen imigran Kamboja ke Australia telah atau samar-samar strongyloides serologi positif mungkin mengindikasikan infeksi (Caruana dkk,2006). 
2.5 PENULARAN  
            Cara-cara Penularan Larva infektif ( filaform ) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paruparu. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa.
Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah.
            Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform. Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahun-tahun.
2.6 PATOGENESIS
            Transimisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang terkontaminasi, atau per-oral. Transmisi juga mungkin dapat terjadi transplancental (dari ibu janin yang di kandungnya) dan transmammary ( dari ibu ke bayinya melalui air susu ). Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit menimbulkan cutaneus larva migrans dan visceral larva migrans. Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler terbawa pulmonal dan penetrasi kedalam aveoli paru-paru. Di duga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit menyebabkan perdarahan dan menimbulkan inflantrasi selular pada paru-paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrate yang menyebar pada gambaran radiologis paru (loeffer’s pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang di timbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan disebut dengan sindroma loeffler.Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Disana parasit ini dengan cepat berkmbang menjadi dewasa. Betina lalu berkambang biak secara parthenogenesis. Hewan betina juga berkembang biak melaui kopulasi yang terjadi di duodenum atau jejunum.
            Hiperinfeksi stongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang meningkatkan migrasi larva dan gejala gejala yang disebabkan oleh peningkatan migrasi larva strongyloides stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfekai adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Strongyloides stercoralis hidup pada daerah beriklim tropis dan subtropis. Hanya cacing betina dari jenis cacing ini yang hidup sebagai parasit di usus manusia, terutama di duodenum dan jejunum. Telurnya menetas di kelenjar usus, kemudian keluar bersama feces dalam bentuk larva rhabditiform. Larva ini akan berubah menjadi larva filariform apabila sudah berada di tanah. Namun demikian, larva filariform bisa juga terbentuk di dalam usus sehingga terjadi infeksi yang disebut autoinfeksi interna.
            Ada tiga tipe strongyloidiasis (nama penyakit yang disebabkan Strongyloides stercoralis,-red) yaitu tipe ringan, tipe sedang, dan tipe berat. Tipe ringan tidak memberikan gejala apa-apa. Pada tipe sedang, dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, umumnya gejala di usus. Jika sudah pada tipe atau infeksi berat, penderita mengalami gangguan hampir di seluruh sistem tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian.
2.7 GEJALA / TANDA KLINIS
 
in human

in pig
            Gejala klinis umum yang sering terlihat hanya pada hewan sangat muda adalah diare, anorexia, kusam, penurunan berat badan (Urquhart et.all. 1996).Pada waktu cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari dinding usus. Pada serangan paru dapat terjadi pneumonitis dan eosinophilia.
            Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit timbul kelainan kulit yang disebut creeping eruption yang disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan strongiloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk didaerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada muntah, diare  saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi atau hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada pemerikasaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.
2.8 DIAGNOSA
            Berdasarkan literature yang ada, cara mendiagnosis penyakit strongyloidiasis dapat dilakukan beberapa cara, yaitu :
a.      Pendekatan Diagnostik
§  Sejarah dan pemeriksaan fisik
·         Memperhatikan faktor risiko, eksposur khususnya steroid, perjalanan ke atau tinggal di daerah endemik
·         Kulit, GI, dan / atau paru-paru tanda / gejala

§  Laboratorium Evaluasi
·         Serum eosinofilia (sering absen dalam infeksi berat)
·         Serial analisis tinja larva rhabditiform
o   Pemeriksaan contoh tunggal mendeteksi hanya ~ 30% infeksi tanpa komplikasi.
·         Jika analisis tinja negatif, Strongyloides bisa diuji oleh sampling dari isi duodenojejunalis oleh aspirasi atau biopsi.
·         Uji Serologi
·         Pada infeksi disebarluaskan, larva filariform harus dicari dari situs tinja dan lain migrasi larva potensial.
o   Dahak / cairan lavage (BAL) bronchoalveolar
o   Cairan pleura / peritoneum
o   Bedah drainase cairan
b. Laboratorium Pengujian  
v  Pemeriksaan untuk  parasit
§  Deteksi larva dalam tinja.
o   Larva Rhabditiform adalah 200-250 pM panjang, dengan rongga bukal pendek yang membedakan mereka dari rhabditiform larva cacing tambang.
§  Serial pemeriksaan dan penggunaan metode deteksi plate agar meningkatkan sensitivitas diagnosis tinja pada infeksi rumit.
§  Pemeriksaan Single-bangku mendeteksi hanya sekitar sepertiga dari infeksi ini.
§  Pemeriksaan feses mungkin berulang kali negatif.
§  Filariform larva (550 pM panjang) harus dicari pada infeksi disebarluaskan.
§  Sebuah contoh dari isi duodenojejunalis untuk pengujian dapat diperoleh dengan aspirasi atau biopsi.
§  Pada infeksi disebarluaskan, sampel dari situs migrasi larva potensial harus dianalisis untuk larva filariform.
o   Dahak
o   Cairan pleura / peritoneum
o   Bedah drainase cairan
c.        Imaging
Penelitian berikut harus dipertimbangkan dalam terang presentasi klinis dan keparahan gejala:
·         X-ray dada
o   Dapat menunjukkan infiltrat alveolar atau interstisial
·         Abdominal x-ray
·         Barium menelan
·         Barium Enema
2.9  TINDAKAN
            Untuk mengurangi jumlah penyakit cacing strongyloidosis,  dapat dilakukan beberapa cara yang dapat membantu mengurangi penyakit tersebut, yaitu :
a. Pencegahan
o   Peningkatan tinja sanitasi di daerah endemik
o   Menghindari kontak dengan kulit berpotensi terkontaminasi tanah
o   Lakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat untuk benar-benar
memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.
o   Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati binatang yang terinfeksi cacing ini.

b. Pengobatan
v  Dosis: 200 mg / kg sehari
v  Jangka waktu
·         Infeksi tanpa komplikasi: 1 atau 2 hari
·         Infeksi yang menyebar
o   Perluas pengobatan setidaknya 5-7 hari atau sampai parasit dimusnahkan
·         Lebih efektif daripada Albendazole
·         Lebih baik ditoleransi dibandingkan thiabendazole
-          Albendazole
v  Dosis: 400 mg PO tawaran selama 3 hari untuk infeksi tanpa komplikasi dan 7-10 hari untuk hyperinfection

-          Thiabendazole
v  Dosis: 25 mg / kg tawaran selama 2 hari (maksimal, 3 g / d)
·         efek samping
o   Mual
o   Muntah
o   Diare
o   Pusing
o   Neuropsikiatri gangguan 

 
BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
            Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang berpotensi mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh cacing Strongyloides sp. Penyakit ini dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi, dan anjing. umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas jejunum. Dan dapat juga bersifat zoonosis ( ditularkan oleh anjing ke manusia ). Strongyloidiasis ini endemik di daerah tropis dan subtropis dan terjadi secara sporadis di daerah beriklim sedang. Strongyloidiasis dapat menular melalui beberapa cara yaitu:
1.      Larva infektif menembus kulit
2.      Pada anak babi dapat melalui colustrum atau air susu
3.      Larva infektif mencemari makanan (oral)
4.      Autoinfeksi ( dapat terjadi pada anjing dan manusia ).
            Jika hewan ataupun manusia sudah terinfeksi Strongyloidiasis pengobatan yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan : ivermectine 0,2 mg/kb berat badan, albedazole, Thia bendazole, febanthel dan levamisol. Dan pengobatan pada induk sebelum melahirkan dapat di berikan ivermectine dan doramectine pada 16 hari sebelum induk melahirkan ( Oka IBM dkk,2006 ).
3.2       SARAN
1.      Periksa semua anjing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati binatang yang terinfeksi cacing ini.
2.      Perhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.
3.      hindari kontak kulit dengan tanah yang berpotensi terkontaminasi dengan cara menggunakan alas kaki.