Jumat, 09 Maret 2012


TUGAS MATA KULIAH
KESMAVET II
DAGING DAN SEL OTOT PENYUSUNNYA


OLEH:

I PUTU JULI SUKARIADA








FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012







 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Daging adalah salah satu komoditi pertanian yang di butuhkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein dimana protein daging mengandung susunan asam amino yang lengkap. Secara umum konsumsi protein dalam menu rakyat Indonesia sehari-hari masih dibawah kebutuhan minimum, terutama protein hewani. Rendahnya jumlah yang dikonsumsi disebabkan oleh harga protein hewani yang relatif lebih mahal dan sumber dayanya yang terbatas.
Daging merupakan salah satu sumber gizi bagi manusia, selain itu juga merupakan sumber makanan bagi mikoorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut. Makanan yang dikonsumsi dapat menjadi sumber penularan penyakit apabila telah tercemar mikroba dan tidak dikelola secara higienes, makanan yang bepotensi tercemar adalah makanan mentah terutama daging yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. tidak layak dikonsumsi.
Pada umumnya daging kuda, sapi dan kerbau sama. Daging kuda warnanya lebih tua daripada daging sapi. Seratnya agak kasar, baunya seperti biji kemiri. Daging kerbau lebih kasar jenisnya dari pada daging sapi, warnanya hampir sama dengan daging sapi dan baunya lebih keras. Daging babi keadaannya lebih lunak daripada daging sapi, warna lebih merah, serat daging lebih halus dan lebih banyak mengandung lemak. Sedikitnya dua per tiga dari persediaan daging di dunia di konsumsi oleh seperempat jumlah penduduk dunia yang sebagian besar adalah orang-orang Barat. Protein yang dihasilkan melalui peternakan merupakan suatu kemewahan yang dinikmati oleh mereka yan mempunyai tanah peternakan atau padang rumput yang luas.
Daging merupakan makanan sehari-hari dalam peradaban orang-orang petualang (nomad) dan keadaan ini masih berlaku pada masyarakat yang menggantungkan diri pada ternak pemakan rumput, baik di Stepa (tanah datar yang luas dan kering) atau di pinggiran pasir di Asia Tenggara, Arab, Somalia, dan Mauritania. Daging merupakan unit bahan pangan kedua terbesar yang diangkut dengan mesin pendingin antar samudra. Jumlahnya mencapai sekitar 1,8 juta ton/tahun. Sebagian besar dari perdagangan daging internasional ditujukan ke Eropa dan Amerika Utara.

1.2  RUMUSAN MASALAH
  • 1.2.1            Bagaimanakah Struktur otot rangka ?
  • 1.2.2            Bagaimanakah komposisi dan nilai nutrisi daging ?
  • 1.2.3            Bagaimanakah kandungan protein dalam daging ?
1.3  TUJUAN PENULISAN
  • 1.3.1                  Dapat mengetahui struktur otot rangka.
  • 1.3.2                  Dapat mengetahui komposisi dan nilai nutrisi daging.
  • 1.3.3                  Dapat mengetahui kandungan protein dalam daging.





BAB II
PEMBAHASAN
Secara umum daging yang rnembentuk tubuh ternak tersusun oleh tiga tipe jaringan, yaitu jaringan otot, jaringan ikat fibrous, dan jaringan lemak. Ketiga tipe jaringan tersebut tersusun oleh sel-sel di dalam matriks yang mengandung serabut. Otot dan jaringan ikat merupakan komponen utama dari karkas ternak pedaging, sehingga otot dan jaringan ikat merupakan penyusun sekaligus penentu kualitas daging. Karena pentingnya informasi tentang otot dan jaringan ikat sebagai komponen utama dan penentu kualitas daging, maka struktur fibrus, komposisi protein dan sifat-sifat otot, khususnya otot rangka, perlu diuraikan secukupnya.
2.1 Struktur Fibrus Otot Rangka
Serabut otot rangka berinti banyak dan merupakan jumlah sel terbesar dalam tubuh, panjangnya sekitar 4 cm dengan diameter 10-140 mikron. Ketebalannya bervariasi dan ada hubungan antara tipe otot (tipe kerja) dengan ketebalannya. Secara umum diakui bahwa kekuatan suatu otot tidak tergantung pada panjangnya serat serat otot yang bersangkutan, akan tetapi tergantung pada jumlah total serat serat yang ada di dalam otot tersebut. Otot bertambah besar akibat latihan dan hal ini disebabkan oleh terjadinya penebalan masing masing serat otot (hipertrofi) dan bukan karena bertambah banyaknya serat serat Qiiperplasia).
Otot tersusun dari banyak ikatan serabut otot yang lazim disebut fasikuli. Fasikuli ini terdiri dari serabut-serabut otot, sedangkan serabut otot tersusun dari dari banyak fibril dan disebut miofibril (Gambar 2). Lebih lanjut miofibril tersusun dari banyak filamen dan disebut miofilamen. Ada dua tipe miofilamen yaitu filamen tebal (protein miosin) dan tipis (protein aktin). Jadi berdasarkan urutan ukurannya (dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil), otot tersusun dari fasikuli, serabut otot, miofibril dan miofilamen (filamen tebal dan filamen tipis) (Gambar 2; 3; dan 4).

Jaringan otot dibungkus oleh selapis jaringan ikat agak padat disebut epimisium, yang dengan mata biasa tampak sebagai suatu selubung putih. Di dalam epimisium terdapat serat serat otot, yang tersusun dalam berkas atau fasikulus. Masing masing berkas atau fasikulus dikelilingi oleh suatu selubung tipis jaringan ikat, yaitu perimisium. Selanjutnya di dalam fasikulus, setiap serat otot sebagai komponen penyusun fasikulus dibungkus oleh jaringan ikat jarang yang disebut endomisium 


 GAMBAR 2 : Penampang melintang otot rangka


GAMBAR 3 : Serabut ( sel ) otot
 
Perbedaan utama serabut otot di antara spesies adalah dalam hal panjang serabut dan jumlah serabut per otot. Setiap serabut dikelilingi oleh plasmalema setebal 7,5-10 nm yang disebut sarkolema, yang mempunyai komposisi lemak kira-kira 60% protein, 20% fosfolipida, dan 20% kolesterol. Sarkolema  bersif at elastis, dan memegang peranan penting pada kontraksi atau pemendekan otot, relaksasi dan peregangan otot.
Sitoplasma yang terdapat di dalam serabut otot disebut dengan sarkoplasma. Sarkoplasma merupakan substansi koloidal intraseluler dengan komposisi utama berupa air 75-80%. Komponen sarkoplasma lainnya adalah lipid, granula glikogen dalam jumlah yang bervariasi, non-protein nitrogen, dan komponen anorganik.
Miofibril. Miofibril adalah organela serabut otot berbentuk silindris, panjang dan tipis dengan diameter 1-2 jam. Sumbu panjangnya paralel dengan sumbu panjang serabut otot. Suatu serabut otot yang mempunyai diameter 50 |xm, mengandung 1000 sampai lebih dari 2000 miofibril. Miofibril terdiri dari segmen-segmen yang disebut sarkomer. Panjang sarkomer saat istirahat kira-kira 2,5 jam. Di dalam sarkomer terdapat 2 macam miofilemen, yaitu filamen tebal (filemen miosin) dengan diameter 10-12 [im atau lebih, dan filamen tipis (filamen aktin) dengan diameter kira-kira 5-7 (am. Bagian jalur yang kabur dari miofibril pada sinar polaris atau isotropik disebut ban I, sedangkan bagian yang jelas, tebal dan lebih luas atau bagian anisotropik disebut ban A. Susunan ban I dan A pada fibril-fibril yang paralel longitudinal di dalam serabut otot, menyebabkan serabut otot rangka tampak bergaris-garis melintang. Ban I dan ban A, masing-masing terbagi menjadi 2 seksi oleh jalur-jalur tipis. Setiap ban I terbagi menjadi 2 seksi oleh suatu jalur tipis gelap yang disebut jalur Z. Unit miofibril di antara 2 jalur Z yang berdekatan inilah yang disebut sarkomer (Gambar 4). Sarkomer meliputi ban A dan kedua seksi dari ban I yang letaknya pada setiap sisi dari ban A. Sarkomer merupakan unit yang berulang dari miofibril dan unit basis kejadian kontraksi dan relaksasi.
Di bagian tengah dari setiap ban A, terdapat suatu wilayah yang agak kurang tebal daripada bagian A lainnya, yang disebut sebagai wilayah H. Bagian tengah wilayah H, dibagi menjadi 2 seksi oleh suatu jalur tebal, yang disebut jalur M. Wilayah yang relatif kurang tebal di dalam wilayah H pada kedua sisi dari jalur M disebut pseudo wilayah H.

2.2 Komposisi dan Nilai Nutrisi Daging
Komposisi kimia daging bervariasi di antara spesies, bangsa, atau individu ternak.Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungannya. Nilai nutrisi daging berhubungan dengan kandungan protein, lemak karbohidrat, mineral, dan vitamin yang terdapat dalam daging tersebut.
2.2.1 Nutrisi Protein
Daging mentah mengandung protein sekitar 19-23%, tergantung kepada kadar lemaknya. Kandungan protein dan lemak mempunyai hubungan negatif di antara kedua konstituent tersebut. Setiap 100 g daging masak kandungan proteinnya berkisar antara 25-30% atau setara dengan 45-55% dari kebutuhan protein tubuh per hari yang dianjurkan oleh NRC (1998).
asal jaringan otot rangka, merupakan protein berkualitas tinggi dan merupakan protein yang memiliki karakteristik : (1) mengandung semua asam amino esensial, (2) nilai biologisnya tinggi dalam memacu pertumbuhan, (3) mudah tercerna, dan (4) mudah terserap.
Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh dalam jumlah yang cukup memadai. Orang dewasa membutuhkan 9 macam asam amino esensial, yaitu : asam amino valin, triptopan, treonin, metionin, leusin, isoleusin, lisin dan histidin (NRC, 1988). Protein daging dapat dicerna sampai sekitar 95-100% sedang protein nabati hanya sekitar 65-75%.
2.2.2 Nutrisi Lemak dan Kalori
Kadar lemak dari daging bervariasi, tergantung kepada jumlah lemak eksternal dan lemak intramuskular yang dikandungnya. Ditinjau dari segi nutrisi, komponen lemak daging yang penting adalah: trigliserida, f osf olipida, kolesterol, dan vitamin yang terlarut dalam lemak. Nilai kalori daging tergantung kepada asam-asam lemak dalam trigliserida yang besar dan fosfolipida (NRC, 1998).
Trigliserida mengandung asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Ternak ruminansia mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi ketimbang ternak non runinansia. Asam lemak jenuh dalam daging contohnya asam palmitat dan stearat. Konsumsi lemak jenuh yang relatif tinggi merupakan faktor kontribusi terhadap munculnya penyakit jantung (Judge et al, 1989)
2.2.3 Kolesterol
Kolesterol adalah salah satu komponen lemak yang bila terkandung dalam darah dengan jumlah yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Kadar kolesterol dalam daging tidak berhubungan dengan kadar kolesterol dalam darah pada individu yang normal. Kolesterol sebenarnya disintesis oleh tubuh pada kadar 600-1500 mg per hari. Namun apabila sejumlah kolesterol telah dikonsumsi (berasal dari luar tubuh), mengakibatkan jumlah kolesterol yang disentesis oleh tubuh akan menurun. Sekalipun demikian, direkomendasikan untuk mengkonsumsi kolesterol tidak lebih dari 300 mg per hari. Diketahui bahwa daging sapi mengandung 81-106 mg/100 g daging, daging babi (bacon), hanya 58 mg /100 g masak oven atau 85mg /100 g daging masak goreng.
Daging domba bagian paha depan mengandung kolesterol sekitar 119-124 mg/100g, bagian bahu 96mg/100g, shank depan 102-106 mg/100g, paha bagian belakang 78-1 OOrng/ lOOg dan daging rusuk 83-92 mg/lOOg. Untuk daging domba masak diperkirakan kandungan kolesterolnya berkisar antara 152-182 mg/lOOg untuk daging bahu, sedangkan loin 148-192 mg/10g, rusuk 128-142 mg/lOOg dan sirloin 153-186 mg/lOOg. Daging ay am mengandung 75-89 mg/100 g pada bagian dada, 90-94 mg/lOOg untuk paha berkulit, dan 85-93 mg/lOg untuk paha tanpa kulit. Daging itik mengandung kolesterol 84-89 mg/lOOg dan daging kalkun 69-89 mg/lOOg. Daging ikan mengandung kolesterol 42-81 mg/100g, kepiting 100-150 mg/ lOOg dan udang 177-195 mg/lOOg (NRC, 1988).
Konsumsi kalori yang tinggi sering dihubungkan dengan kegemukan, sedangkan faktor kegemukan, stress, dan ketidakaktifan dapat berkaitan dengan penyakit jantung. Setiap lOOg daging masak hanya mengandung sekitar 15-230 kalori atau sekitar 8-12% dari 2000 kalori dalam makanan.
Daging mengandung sejumlah besar asam lemak esensial bagi manusia, yakni asam lemak linoleat, arakidonat, dan mungkin lenolenat, dan kebutuhan akan asam lemak esensial relatif sangat sedikit yang sudah dapat dipenuhi oleh lemak intramuskular (marbling)
2.2.4 Nutrisi Karbohidrat
Daging mengandung karbohidrat dalam jumlah sedikit (kurang dari 1%) yang biasanya hanya berbentuk glikogen dan asam laktat yang disimpan dalam hati. Dalam daging proses, biasanya ditambahkan sumber karbohidrat dari luar seperti gula, sehingga kadar karbohidrat dari daging proses menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging segar.

2.2.5 Nutrisi Mineral
Daging merupakan sumber yang baik akan mineral kecuali Ca, karena Ca umumnya hanya terdapat dalam jumlah yang rendah. Daging biasanya mengandung mineral tanpa lemak, karena kebanyakan mineral hanya berasosiasi dengan air dan protein daging. Setiap 100 g daging sapi, babi, domba, dan ueaZ masing-masing mengandung sekitar 0,8; 1,2; 1,2; dan 1,0 mg Ca dan 171; 175; 147; dan 193 mg P. Kadar Ca untuk daging sapi dan ayam secara relatif lebih rendah jika dibandingkan daging domba, babi dan veal Daging ayam merah gelap mengandung sodium yang lebih rendah dibandingkan daging sapi, domba, dan babi.
Daging mengandung zat besi yang sangat baik untuk memelihara kesehatan, untuk sintesis hemoglobin, mioglobin, dan enzim tertentu. Tubuh hanya menyimpan zat besi dalam jumlah sedikit, sehingga suplai melalui makanan harus berlangsung terus. Zat besi mudah terserap oleh tubuh, sehingga makan (daging) akan menyediakan zat besi yang relatif banyak terserap, seperti zat besi heme mengandung kira-kira 40-60% dari zat besi dari daging.
Ginjal, hati, dan limpa mengandung zat besi lebih tinggi jika dibandingkan dengan otot atau daging segar. Mineral ini akan ikut hilang bersama "drip" pada daging yang dimasak, dan secara kuantitatif mineral ini terikat bersama protein daging. Selain itu, daging juga mengandung mikroelemen seperti Al, Co, Cu, Mn, dan Zn. Daging mengandung Zn dalam jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Zn dari tanaman. Bila makanan dari tanaman yang digunakan sebagai pengganti daging, maka penimbunan pitat dalam level tinggi dapat mengikat Zn dalam jumlah yang lebih tinggi dan menurunkan availabilitasnya untuk penyerapan oleh sel-sel usus kecil. Zn merupakan komponen esensial bagi pertumbuhan, penyembuhan luka, imunitas, rasa, dan sintesis DNA.
2.2.6 Nutrisi Vitamin
Secara umum daging mengandung vitamin B kompleks, tiamin, vitamin B6 dan vit B12 dalam jumlah relatif tinggi. Jika dibandingkan dengan jenis daging lainnya, daging babi lebih banyak mengandung tiamin, daging ayam lebih banyak mengandung niasin dan B6, serta daging sapi lebih banyak mengandung vitamin B6 dan B12.
Kontribusi daging merah (daging sapi, domba, babi, dan veal), daging unggas, dan ikan mengandung vitamin A dan C yang tinggi. Selama proses pemanasan/pemasakan, daging dapat akan kehilangan vitamin B kompleks, hilang bersama "drip", dan sebagian tiamin juga dapat mengalami kerusakan.
2.2.7 Nutrisi Daging Organ dan Produk Daging Proses.
Daging organ seperti otak, jantung, ginjal, hati, paru-l>ciru, limpa, timus, dan lidah mengandung protein dalam pmporsi yang berbeda, meskipun dalam spesies yang sama .il«ui berbeda. Hati mengandung zat besi dalam jumlah besar, juga vitamin A dan vitamin B kompleks terutama niasin dan riboflavin.
Produk daging proses biasanya mengandung protein dan air yang lebih sedikit dan lemak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging segar; juga kadar kalorinya lebih tinggi. Produk daging dapat mengandung protein dan mineral yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging segar, karena adanya penambahan bumbu dan garam. Produk daging yang dibungkus dengan bahan yang kedap air/uap selanjutnya dibekukan pada suhu yang rendah (-16°C) akan mempunyai komposisi kimia dan nilai energi yang secara relatif stabil pada saat thawing. Kerusakan yang sering terjadi hanyalah kerusakan sel yang pada saat thawing akan dilepaskan sejumlah kandungan sel bersama drip.
Produk ternak dapat menyediakan kalsium, zat besi, magnesium, dan fosfor dalam diet masing-masing sebesar 60,7%, 42,0%, dan 36,8%, sedangkan daging merah (sapi, babi, domba dan veal), unggas, dan ikan mengandung mineral tersebut masing-masing sebesar 7,5%, 34,5%, 17,4% dan 29,0%.
Absorpsi dan pemanfaatan kalsium dipengaruhi oleh ketersediaan vitamin D. Vitamin D akan memberi fasilitas perpindahan kalsium ke dalam sel-sel mukosal duodenum dan meningkatkan absorpsi kalsium.
2.3 Protein Otot
Protein otot yang berjumlah antara 16%-23% atas dasar solubilitasnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu protein miofibril, protein sarkoplasmik, dan protein stromal.
2.3.1 Protein Miofibril
Sebagian besar serabut otot mengandung lebih dari 50% protein miofibril. Miofibril mengandung 55-60% myosin dan kira-kira 20% aktin. Protein miofibril lainnya dalam jumlah kecil, disebut protein pengatur, karena fungsinya mengatur kompleks adenosin terifosfat (ATP)- aktin-miosin. Berdasarkan urutan konsentrasi yang makin menurun, protein pengatur terdiri dari tropomiosin, troponin, dua M-protein, alfa-aktinin, C-protein dan beta-aktinin.
Miosin adalah protein filemen tebal yang dominan dan proporsi asam amino basik dan asidiknya tinggi. Miosin mempunyai pH isoelektrik kira-kira 5,4, mengandung asam amino prolin prolin yang lebih rendah, dan lebih fibrus daripada aktin. Struktur molekul misin berbentuk seperti batang korek api dengan bagian tebal di salah satu ujung. Bagian tebal ini disebut kepala miosin yang berjumlah dua buah, dan bagian yang seperti batang panjang disebut ekor miosin. Bagian antara kepala dengan ekor disebut leher miosin. Enzim proteolitik, misalnya tripsin mampu memecah myosin di bagian dekat lehernya menjadi dua fraksi dengan BM yang berbeda, yaitu meromiosin ringan dan meromiosin berat. Enzim tanaman seperti papain (enzim yang diperoleh dari buah pepaya), mampu memecah meromiosin berat menjadi dua subsfraksi, yaitu meromiosin berat subfraksi 1 yang tersusun dari dua kepala molekul miosin yang aktif dan tetap mengikatkan diri pada aktin serta mampu menghidrolisis ATP, serta meromiosin berat subfraksi 2 dengan pH isoelektrik sekitar 5,4.
Aktin adalah protein globular, dan berjumlah kira-kira 20% dari protein miofibril. Molekul globular aktin (G-aktin) dan bagian fibrous aktin disebut (F-aktin). Dua untaian F-aktin yang mengikat monomer-monomer G-aktin membentuk lilitan superheliks. Superheliks ini merupakan ciri-ciri filamen aktin. Filamen aktin secara keseluruhan mempunyai diameter kira-kira 6-8 nm dan mempunyai pH isoelektrik sekitar 4,7.
Tropomiosin berjumlah kira-kira 5% dari protein miofibril dan mengandung asam-asam amino yang bersifat asam dan basa dalam jumlah yang relatif tinggi. Tropomiosin mempunyai pH isoelektrik 5,1 dan larut dalam air serta larutan garam.
Troponin adalah protein globular pada lekukan filamen aktin, dan berjumlah kira-kira 5% dari protein miofibril. Sebuah molekul troponin dapat ditemukan pada setiap 7-8 miolekul G-aktin. Peranan troponin adalah menerima ion Ca yang sensitif terhadap kompleks aktomiosin-tropomiosin. Troponin mampu meningkatkan daya ikat aktin- tropomiosin. Troponin mengandung protein dan asam amino aromatik.
Protein miofibril lainnya seperti alfa aktinin, beta aktinin, gama aktinin, euaktinin, titin, fimentin dan sinemin pada umumnya belum dapat diketahui secara pasti.
2.3.2 Protein Sarkoplasmik
Protein sarkoplasmik terutama terdiri dari enzim-enzim yang berhubungan dengan glikolisis (73%), kreatin kinase (9%), mioglobin yang meningkat sesuai dengan umur ternak, dan hemoglobin dalam jumlah yang relatif sedikit. Enzim-enzim yang berasosiasi dengan glikolisis dan kreatin kinase dapat menjadi aktif dalam situasi anaerobik (tanpa oksigen), dan berfungsi sebagai penyedia energi untuk kontraksi otot. Enzim-enzim glikolitik terutama terdapat pada area ban I. Tiga protein filamen tipis yaitu F-aktin, tropomiosin, dan troponin dapat mengikat enzim-enzim glikolitik.
Mioglobin
Warna merah otot terutama disebabkan oleh adanyakandungan myoglobin (80-90%) dari total pigmen otot. Hemoglobin (pigmen darah) juga ikut menentukan warna daging. Struktur kedua pigmen itu juga serupa. Akan tetapi, molekul mioglobin lebih kecil dari pada molekul hemoglobin. Mioglobin merupakan tempat penyimpanan oksigen dalam otot. Oksigen dalam peredaran darah diikat oleh mioglobin untuk metabolisme aerobik. Mioglobin terdiri dari suatu porsi protein globular (globin) dan porsi non-protein yang disebut cincin heme. Warna daging sebagian tergantung pada status oksidasi Fe di dalam cincin heme.
Konsentrasi mioglobin dalam jaringan bervariasi, tergantung dari fungsi dan aktivitas fisik otot, jumlah suplai darah, ketersediaan oksigen serta umur, jenis kelamin, dan spesies. Otot jantung, walau mengandung sedikit pigmen, tetapi mioglobinnya relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan jaringan lain. Hal ini karena jantung memerlukan oksigen yang relatif tinggi. Sebaliknya, otot sayap unggas mengandung mioglobin relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan otot rangka lainnya. Hal ini karena otot sayap unggas memiliki efisiensi yang tinggi terhadap suplai oksigen dari darah.
Mioglobin meningkat dengan meningkatnya umur. Misalnya veal mengandung 1-3 mg mioglobin/g jaringan segar, oto beef 4-10 mg/g, dan 16-20 mg/g pada beef yang lebih tua. Perbedaan mioglobin diantara spesies tampak nyata. Misalnya, warna merah muda ringan pada daging babi (pork) dibanding dengan warna merah terang pada daging sapi (beef). Diketahui bahwa ternak jantan mempunyai otot yang mengandung lebih banyak mioglobin jika dibanding dengan ternak betina dan jantan kastrasi pada umur yang sama. Di samping itu, tampak nyata terlihat adanya perbedaan antara otot dada dan otot paha pada ayam, yakni warna keputihan pada otot dada dan merah gelap pada otot paha.
Pada umumnya, daging beef dan domba lebih banyak mengandung mioglobin dari pada daging babi, veal, ikan, atau unggas. Pada dasarnya, otot yang berwarna merah gelap secara relatif mengandung proporsi serabut-serabut merah yang kaya dan tinggi akan mioglobin.
Status kimia mioglobin
Kemampuan  pigmen  mioglobin berikatan dengan molekul lain termasuk oksigen, tergantung pada status kimia Fe yang terdapat dalam cincin heme. Bila Fe dalam bentuk Fe-dioksida, status ini tidak dapat berikatan dengan molekul lain termasuk oksigen. Namun bila Fe dalam bentuk Fe-direduksi, status ini akan dapat dengan mudah berikatan dengan molekul air daging atau dengan oksigen. Jadi, untuk memelihara kemampuan pigmen untuk bereaksi, maka jaringan otot harus berstatus pada kondisi reduksi, karena molekul oksigen akan bereaksi dengan Fe-reduksi dari mioglobin yang menghasilkan warna merah segar pada daging. Reduksi akan berlangsung secara alamiah karena adanya aktivitas enzim yang menggunakan semua sisa oksigen dalam otot setelah proses kematian. Oleh karena pigmen bagian dalam daging mempunyai bentuk reduksi dan hanya bereaksi dengan air daging, maka pigmen ini berwarna ungu dan disebut deoksimioglobin.
Pigmen daging dapat mengalami perubahan akibat dari reaksi oksigen pada saat pemotongan, penggilingan, atau kontak dengan udara. Pada saat kandungan oksigen terbatas misalnya pada pengepakan vakum atau semipermiabel, posisi Fe dari pigmen daging akan teroksidasi dan menyebabkan warna daging menjadi coklatyang kurang disukai. Warna coklat ini disebut metmyoglobin (status ion Fe dalam wujud fero karena oksidasi). Bila daging segar dibiarkan terus berkontak dengan udara, maka pigmen reduksi akan bereaksi dengan molekul oksigen membentuk pigmen yang relatif stabil yang dikenal dengan istilah oksimioglobin dan berwarna merah terang. Oksimioglobin akan terbentuk dalam waktu 30-45 menit setelah daging berkontak dengan udara. Perkembangan warna merah oksimioglobin ini disebut "bloom". Warna ini berasal dari deoksimioglobin (ungu) yang dioksigenasi (ditambah molekul oksigen), dan warna ini merupakan warna yang disukai konsumen.
Stabilitas oksimioglobin (merah terang) tergantung kepada dua hal yaitu: (1) kontinyuitas suplai oksigen, karena enzim-enzim yang terlibat dalam proses metabolisme oksidatif menggunakan oksigen yang tersedia dengan cepat, dan (2) aktivitas enzim otot, yang masing-masing berbeda sesuai dengan aktivitas enzim otonya, sehingga pengaturan jumlah oksigen yang tersedia di bagian luar otot juga berbeda dengan bagian dalam otot. Jika pH dan suhu jaringan meningkat, maka enzim menjadi lebih efektif dan mengakibatkan kandungan oksigen menjadi turun. Warna merah terang daging dapat dipertahankan selama jangka waktu yang semaksimal mungkin dengan cara mempertahankan temperatur daging di sekitar titik beku untuk meminimalkan laju aktivitas dan penggunaan oksigen.
2.3.3 Protein Stromal
Jaringan ikat berfungsi sebagai penghubung dan pengikat bagian-bagian tubuh secara bersama-sama. Jaringan ikat ini tersebar luas pada tubuh dan berbagai komponen tulang, organ, pembuluh darah, limfe, tendon, jaringan saraf, dan otot serta menghubungkan kulit dengan tubuh. Jaringan ikat juga berfungsi sebagai penghubung antara agensia-agensia infektif. Dalam jaringan ikat tertentu, terdapat sel-sel lemak yang tersimpan, dan disebut sebagai jaringan adipose.
Jaringan ikat tersusun dari substansi dasar (massa yang tak berstruktur), sel, dan serabut ekstraselular, seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Jaringan ikat mengandung dua macam sel, yakni sel tetap (fibroblast, mesencim dan sel adipose), dan sel pengembara (berhubungan dengan reaksi terhadap luka dan cedera seperti eosionafil, sel plasma, sel mast, sel limfe, dan makrophag bebas).
Substansi Dasar. Substansi dasar adalah cairan viskous yang mengandung glikoprotein (karbohidrat yang mengandung protein), yang sifatnya mudah larut dan proteoglikan atau glikosaminoglikan. Substansi dasar mengandung substrat dan hasil akhir metabolisme jaringan ikat, termasuk precursor kolagen dan elastin, berupa tropokolagen dan tropoelastin. Glikosaminoglikan antara lain adalah asam hialuronat (substansi viskous) dan kondroitin sulfat, yang fungsinya sebagai lubrikan/substansi pelekat interselular, dan bahan struktural dari kartilago dan tulang serta sebagai penghalang agensia-agensia infeksius.
Serabut Ekstraselular
Serabut ekstraselular yang mempunyai struktur padat disebut jaringan ikat padat, dan yang membentuk struktur longgar disebut jaringan ikat longgar, serabut ini meliputi kolagen, elastin, dan retikulin.
Kolagen mempunyai pengaruh yang besar terhadap keempukan dengan jumlah sekitar 20%-25% dari total protein tubuh mamalia Kolagen merupakan protein struktural utama jaringan ikat dan merupakan komponen utama tendo dan ligamentum. Tulang dan kartilago juga mengandung kolagen dan menyebar ke semua jaringan tubuh/organ, termasuk otot. Distribusinya tidak sama untuk semua otot skeletal dengan jumlah yang tergantung dari aktivitas fisik. Kolagen merupakan glikoprotein yang mengandung gula, termasuk glukosa dan galaktosa yang mengandung glisin dalam jumlah yang relatif besar, kira-kira 1/3 dari total asam amino. Asam amino hidroksiprolin dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah kolagen jaringan karena hidroksiprolin merupakan komponen kolagen yang secara relatif adalah konstan (13-14%) dan tidak terdapat dalam jumlah yang berarti pada jaringan tubuh ternak lain.
Molekul tropokolagen adalah unit struktural fibril kolagen yang dibentuk oleh persatuan molekul-molekul tropokolagen yang saling tumpang tindih pada hampir setiap 14 panjang yang menunjukkan tampaknya striasi. Jarak antara striasi sekitar 67 nm dalam kondisi memendek. Serabut kolagen tersusun dan fibril-fibril kolagen yang dipersatukan dan setiap struktur utama rantai polipeptida mempunyai rangkaian as am amino yang bemlang-glisin-prolin-hidroksiprolin-(satu asam amino yang lain).
Pembentukan kolagen memerlukan asam askorbat untuk hidroksilasi prolin dan lisin setelah benang-benang polipeptida terbentuk. Serabut kolagen tidak larut dan mempunyai kekuatan tarik yang tinggi yang disebabkan oleh ikatan silang intermolekular. Pada ternak muda, jumlah ikatan silang intermolekular hanya sedikit dan mudah putus. Ikatan silang meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan ikatan yang mudah putus digantikan menjadi ikatan yang stabil, sehingga kolagen biasanya mudah larut pada ternak muda dan sebaliknya untuk ternak yang lebih tua.
Elastin dalam tubuh berjumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan kolagen. Elastin sukar larut karena mengandung asam-asam amino nonpolar dalam jumlah yang tinggi (lebih dari 90%). Elastin sangat tahan terhadap enzim digestif dan panas, serta asam dan basa yang ekstrim. Elastin dapat didegradasi oleh enzim proteolitik tanaman. Elastin terbentuk dari molekul prekursor yang mudah larut. Tropoelastin yang disekresikan oleh fibroblast setelah disintesis oleh ribosom.
Retikulin. Retikulin dapat dibedakan dari kolagen dengan reaksi warna. Retikulin akan nampak berwarna hitam dengan larutan perak amonia, sedangkan kolagen nampak berwarna coklat. Retikulin berbeda dengan kolagen dalam hal morfologis dan biokemis, dan tersusun dari serabut-serabut halus yang membentuk anyaman rapi di sekitar sel, struktur syaraf, dan pembuluh darah epitel.
 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 EPITAKSIS

2.1.1 Definisi
Hidung berdarah ( Kedokteran : epistaksis atau Inggris : epistaxis ) atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung.
Dalam kasus tertentu, darah dapat berasal dari sinus. Selain itu pendarahan yang terjadi dapat masuk ke saluran pencernaan dan dapat mengakibatkan muntah. Mimisan, baik yang bersifat menetes ( epistaxis ) maupun mengalir ( rhinorhagia ), secara harafiah berarti pendarahan hidung. Dalam pengertian sehari-hari semua perdarahan yang melalui rongga hidung, tanpa memandang asalnya, disebut mimisan.

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior ( depan ) dan posterior ( belakang ). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang arteri sfenopalatina ( merupakan tipe yang biasa terjadi ).

2.1.2 Etiologi
Kasus epistaxis pada hewan besar banyak dijumpai pada kuda. Epistaxis sendiri dapat disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer meliputi trauma kepala, abses pada septum nasi, sinus nasi, dan pharynx, adanya benda asing yang melukai vasa darah, sinusitis, tumor, mikosis saccus gutturalis, dan EIPH. Trauma kepala bisa terjadi akibat benturan kepala ke dinding kandang, terjatuh, yaitu kelukaan akibat pemasukan alat bantu ke dalam atau melalui cavum nasi. Trauma ini menyebabkan membran mukosa dan atau os turbinata terluka. Biasanya disertai dengan fraktur dan kebengkakan pada daerah yang terluka. Kondisi akan nampak lebih parah jika hewan menundukkan kepala.
Adanya abses di septum nasi, sinus nasi, maupun pharynx bisa menyebabkan hemoragi, baik unilateral maupun bilateral. Pada saat makan, terkadang makanan yang masuk juga bisa melukai pembuluh darah sehingga menyebabkan hemoragi. Pada kasus sinusitis, terjadi pengikisan pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan, dan biasanya disertai dengan pus yang sama banyak dengan jumlah darah yang keluar. Pada domba epistaxis biasanya disebabkan oleh infeksi larva Oestrus ovis.
Tumor biasanya terjadi pada saluran nafas bagian atas, antara lain polip nasal, ethmoid hematoma, squamous cell carcinoma, granuloma pada sapi dan kuda akibat Rhinosporodium seeberi. Umumnya kuda yang sering terkena ethmoid hematoma adalah kuda yang telah berumur lebih dari 8 tahun, antara lain kuda jenis Thoroughbred, Arabian, or Warmblood horses. (Pascoe, 2008)
Mikosis saccus gutturalis dapat menyerang satu bahkan kedua sisi saccus gutturalis yang menyebabkan hemoragi secara tiba-tiba dan tanpa gejala. Fungi menyerang dan mengikis dinding arteri (cabang a.carotis interna) penyuplai area saccus gutturalis daerah dorsocaudal dari kompartemen medial saccus gutturalis. Walaupun lesinya juga bisa terlihat sampai ke kompartemen lateral dan menyebabkan terjadinya hemoragi berat.. Invasi fungi pada struktur neurovaskuler dinding saccus gutturalis bisa menimbulkan gejala yang nampak. Walaupun penyebab pasti mikosis saccus gutturalis masih belum diketahui, beberapa fungi terutama Aspergillus (Emericella) nidulans, dapat terisolasi dari lesi yang ada (Pascoe, 2008). Biasanya kondisi ini berakhir dengan ditemukannya hewan mati dalam kolam darah.
Exercise Induced Pulmonary Hemorrhage ( EIPH ) biasanya terjadi pada kuda pacu yang over exercised. Epistaxis terjadi akibat ruptur kapiler pulmo karena perbedaan tekanan ekstrim yang terjadi selama latihan. Kondisi ini tidak mempengaruhi performa kuda, kecuali pada kasus EIPH berat akibat ruptur pada vasa yang lebih besar. Hal ini bisa berakibat fatal.

Faktor sekunder meliputi radang limpa, hipertensi, arteriosclerosis, thrombus, toxicitas obat, nekrosis choncae, gangguan nutrisi, abnormalitas homeostasis. Faktor pendukung lainnya TBC, abnormalitas darah (hemofilis, leukemia, anemia sel sabit, trombositopenia, defisiensi vitamin C,D,K), gangguan homeostasis (pembekuan darah: turunnya faktor IX). Epistaxis juga merupakan gejala klinis yang terjadi pada kasus anthrax, malleus, dan strangles pada kuda, dan distemper serta chronic nasal catarrhal pada anjing.

2.1.3 Patogenesis
Penyebab umum pada epistaxis anterior adalah pecahnya pembuluh darah pada plexus Kiesselbach yang terletak di bagian anterior (depan) nasal septum (bagian yang membagi lubang hidung menjadi dua). Sedangkan epistaxis posterior berasal dari cabang-cabang arteri sfenopalatina yang berada di bagian posterior (belakang) rongga hidung atau nasofaring . Mekanisme pembekuan darah (hemostasis), fungsi trombosit dan faktor pembekuan yang terganggu, serta suhu relatif rendah dengan kelembaban rendah, dan penggunaan obat semprot hidung jangka panjang (dekongestan) dapat juga memicu epistaksis.

2.1.4 Gejala Klinis
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Jika sumber epistaksis dekat dengan lubang hidung, maka darah yang keluar berupa merah terang. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat. Sumber epistaksis yang jauh berada di dalam hidung umumnya mengeluarkan darah yang berwarna merah gelap. Pusing, denyut jantung cepat, dan pernafasan yang dangkal dapat menjadi gejala klinis epistaksis akut.

2.1.5 Diagnosa
Epistaxis akan mudah didiagnosa dari warna darah yang keluar dari satu ataupun kedua nostril untuk menentukan area perdarahan. Namun hal yang sulit adalah menentukan penyebabnya. Penentuan diagnosa bisa dilakukan berdasar gejala kinis, misalnya pada kasus trauma kepala bias terlihat dari adanya tanda-tanda luka dan bengkak di wajah. Diagnosis epistaksis juga dapat dilakukan dengan membuka hidung menggunakan spekulum, kemudian dengan alat pengisap semua kotoran dalam hidung dibersihkan baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.
Sumber perdarahan dicari oleh dokter dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang sudah dibasahi dengan obat tertentu dimasukkan ke dalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapat diketahui apakah sumber perdarahan dari anterior atau posterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior dengan cara yang lebih rumit karena tampon harus dimasukkan ke dalam. Setelah darah berhasil dihentikan, barulah diteliti lebih lanjut penyebabnya. Pemeriksaan tidak bisa hanya berdasarkan darah yang keluar saja sebab tidak akan terdeteksi penyebab yang tepat.
Cara yang lebih pasti bias dengan pemeriksaan radiografi yaitu untuk cek keberadaan fraktur, cairan (darah/pus) pada sinus, perubahan letak struktur jaringan oleh benda asing, abses, juga tumor. Serta pemeriksaan endoskopi pada saluran nafas bagian atas maupun bawah. Pemeriksaan endoskopi dapat lebih akurat menemukan penyebab, tapi akan sulit dilakukan jika darah terlalu banyak. Kasus hemoragi pada sinus nasi bias terlihat melalui endoskopi daerah sinus. Pada kasus EIPH saat diendoskopi akan ditemukan darah di daerah trachea. Sedang pada kasus mikosis saccus gutturalis pemeriksaan endoskopi diarahkan ke area saccus gutturalis.

2.1.6 Patofisiologi

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada umur yang lebih tua, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada umur yang  lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

2.1.7 Pencegahan
Karena munculnya kasus epistaksis yang disebabkan trauma terjadi tanpa dapat diduga, beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya luka. Peralatan yang melindungi kepala dapat digunakan selama beraktivitas, sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian epistaksis.  Hewan harus dihindarkan seminimal mungkin terhadap trauma yang dapat mengakibatkan epistaksis dan bila terjadi trauma segera dilakukan penanganan. Kasus yang lain seperti bendung lokal dan tumor harus diobati segera.

2.1.8 Pengobatan
Penanganan epistaksis dapat dilakukan dengan cara : membersihkan hidung terlebih dahulu, kemudian memasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon.

2.2 HEMOPTYSIS

2.2.1 Definisi
Hemoptisis merupakan keadaan batuk dengan pengeluaran sputum bercak darah atau pengeluaran darah yang tampak jelas dari dalam traktu respiratorius. Hemoptisis adalah bentuk kegawatan paru yang sering terjadi dan setiap pasien dengan hemoptisis makroskopik harus menjalani evaluasi diagnostic sehingga penyebab yang spesifik ditemukan. Pasien dengan sputum bercak darah juga harus diperiksa sehingga dibuktikan tipe hemoptisis ini disebabkan keadaan yang bening.
Tingkat kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh tiga faktor:
·        Terjadi afiksia akibat bekuan darah di dalam saluran pernapasan. Kejadian ini tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi, reflex batuk yang berkurang atau efek psikis pasien.
·        Jumlah darah yang keluar dapat menyebabkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan cukup banyak, hemoptisis digolongkan ke dalam hemoptisis masif. 
·        Suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau hari setelah perdarahan akan menyebabkan adanya pneumonia aspirasi. Keadaan ini merupakan keadaan gawat karena bagian jalan napas dan bagian fungsionil paru tidak dapat berfungsi akibat terjadinya obstruksi total.
Sebelum melakukan evaluasi diagnostic untuk mengetahui penyebab hemoptisis, harus dipastikan bahwa darah yang keluar berassal dari traktus respiratorius dan bukan dari nasofaring atau traktus gastrointestinal. Hemoptisis yang berlaku bersamaan dengan hematemesis sulit dibedakan. Pada hemoptisis, gejala prodormal biasanya berupa rasa gatal di tenggorokan atau keinginan untuk batuk, darah dibatukkan keluar. Darah biasanya berwarna merah terang dan berbusa, dapat bercampur sputum, pH biasanya alkali, dan pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan makrofag berisi hemosiderin.

2.2.3 Etiologi
Penyebab utama hemoptisis adalah seperti berikut:
1.      Inflamasi
a.       Bronkitis, Tuberculosis
b.      Bronkoektasis, Fibrosis kistik
c.       Abses paru
d.      Pneumonia, terutama Klebsiella
e.       Emboli paru septic
f.        Penyakit parenkimal akibat jamur atau parasit
2.      Neoplasma
a.       Kanker paru: sel skuamosa, adenokarsinoma, sel oat
b.      Adenoma bronkial
3.      Lain-lain
a.       Tromboemboli paru, Stenosis mitral, Gagal jantung kiri
b.      Trauma trakeobronkial, termasuk benda asing dan benturan paru
c.       Bronkolitiasis, Fistula bronkovaskuler
d.      Hipertensi pulmonalis primer, malformasi arteriovenosa, Sindrom Eisenmenger
e.       Hemosiderosis paru idiopatik
f.        Vaskulitis paru termasuk Granulomatosa Wegener, Sindrom Goodpasture, penyakit jaringan ikat
g.       Diatesis hemoragik termasuk terapi antikoagulonsia

Dua keadaan harus disoroti dengan referensi pada penyakit yang disertai hemoptysis :
·        Hemoptisis jarang ditemukan pada karsinoma yang bermetastatik ke paru
·        Meskipun hemoptisis dapat terjadi pada beberapa waktu selama perjalanan pneumonia pnemokok atau virus, kejadiannya tidak begitu sering dan harus menimbulkan pertanyaan pada kemungkinan proses primer yang lebih serius. 

2.2.4 Pathofosiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untu pertukaran gas.
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah seperti berikut (Wolf,1977):
1.      Radang mukosa
-        Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2.      Infark paru
-        Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau inflasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur
3.      Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
-        Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminal seperti pada dekompensasi kordis kiri akut dan mitral stenosis. Pada mitral stenosis, perdarahan dapat terjadi akibat pelebaran vena bronkialis
4.      Kelainan membran alveolokapiler
-        Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures syndrome
5.      Perdarahan kavitas tuberculosis
-        Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberculosis, yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pads bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif

2.2.5 Diagnosis
Sejarah dan Pengamatan Fisik Sebelum melakukan pengobatan terhadap hemoptysis, perlu dilakukan lokalisasi dari sumber perdarahan. Ludah yang bercampur darah disebabkan karena perdarahan pada nasoparing, respirasi atau gastrointestinal. Pertanyaan yang teliti pada pemilik akan membantu diagnosis. Bersih yang persisten dan parah dengan nasal discharge bercampur darah sebelum hemoptysis sebagai indikasi kerusakan terjadi pada rongga hidung. Sejarah dengan batuk berat dan dispnea sebagai indikasi kerusakan pada saluran nafas. Pengamatan fisik dilakukan secara menyeluruh pada semua organ yang meliputi rongga mulut, dan nasoparing. Auskultasi torak untuk konfirmasi terjadinya gangguan jantung.
·        Hemoptisis yang rekuren dan kronik pada perempuan muda yang asimptomatik mendukung kemungkinan diagnosis adenoma bronchial.
·        Hemoptisis dengan produksi sputum yang kronik dan mencolok disertaipemeriksaan Rontgen dengan gambaran tram lines dan pembentukan kista menunjukkan kemungkinan diagnosis bronkiektasis.
·        Produksi sputum yang berbau busuk menunjukkan kemungkinan abses paru.
·        Penurunan berat badan dan anoreksia pada laki-laki perokok menimbulkan kecurigaan kemungkinan karsinoma paru.
·        Riwayat trauma tumpul yang baru terjadi pada dada menunjukkan kemungkinan kontusio paru. Apabila terdapat nyeir pleuritik akut pada dada menimbulkan kecurigaan kemungkinan emboli paru dengan infark jaringan paru atau lesi paru yang mengenai pleura lainnya (abses paru, kavitas koksidioidomikosis serta vaskulitis). Riwayat kelainan perdarahan dan penggunaan obat antikoagulasi harus dicari.
·        Bila ditemukan pleural friction rub pada auskultasi, kemungkinan diagnosis yang sehubungan dengan nyeri pleuritik.
·        Temuan hipertensi pulmonal menimbulkan kecurigaan kemungkinan hipertensi pulmonal primer, stenosis mitralis, tromboembolisme yang rekuren atau kronik, atau sindrom Eisenmenger.
·        Suara wheezing terlakalisir di daerah saluran napas lobus yang besar menunjukkan kemungkinan lesi intramural seperti karsinoma bronkogenik atau benda asing.
·        Suara bising atau murmur pada kedua lapangan paru menunjukkan kemungkinan diagnosis penyakit Osler-Rendu-Weber dengan malformasi arteriovenosa pulmonalis.
·        Bukti adanya obstruksi ekspiratorik yang signifikan pada aliran udara pernapasan dengan disertai pembentukan sputum menunjukkan pasien menderita bronchitis.
·        Rontgen toraks sangat penting untuk mengenali penyebab hemoptisis:
-        Bayangan bulatan-bulatan kecil pada foto toraks mendukung kemungkinan bronkiektasis
-        Gambaran air fluid level menunjukkan kemungkinan diagnosis abses paru
-        Pembesaran atrium kiri didiagnosis stenosis mitralis
-        Lesi yang berupa massa didiagnosis sebagai neoplasma pada sentral atau perifer paru. Apabila lesi disertai gejala hemoptisis, harus dibedakan dengan gambaran pneumotitis darah yang disebabkan aspirasi darah ke dalam daerah berhubungan.
-        Apabila foto toraks memberikan gambaran normal, saluran pernapasan menjadi sumber perdarahan
·        Pada pasien tanpa perdarahan aktif, foto Rontgen harus disertai pemeriksaan CT scan dan diikuti bronkoskopi. Bronkoskopi rigid memungkinkan visualisasi saluran napas yang lebih sentral. Bronkoskopi dapat dipakai untuk:
-        Menegakkan keberadaan bronkiektasis yang terlokalisir (termasuk lobus paru yang mengalami sekuestrasi)
-        Menyingkirkan kemungkinan bronkiektasis yang lebih menyeluruh pada pasien dengan penyakit terlokalisir dan dianggap calon untuk pembedahan.
·        Tes PPD dan pemeriksaan untuk menemukan basil tahan asam (BTA) juga harus dilakukan pada sputum.

2.2.6 Evaluasi Laboratorium
Evaluasi laboratorium dilakukan jika hemoptysis tidak massive dan mengancam jiwa pasien, dan pemeriksaan dikonfirmasi dengan radiografi. Pemeriksaan laboratorium meliputi hitung darah lengkap, platelet, biokimia serum, urinalisis, uji cacing jantung, pembekuan darah, analisis gas darah, electrocardiogram, transtracheal wash, bronchoscopi, dan sampel aspirasi. Pada hemoptysis yang mengancam jiwa pasien, pemeriksaan laboratorium ditunda sampai kondisi pasien stabil.

2.2.7 Terapi simtomatis
Untuk hemoptysis ringan dan tidak mengancam jiwa pasien pengobatan simtomatis dapat dilakukan dengan pemberian supressant batuk, dan bronchodilatator. Pasien harus dijaga supaya tetap tenang, dibantu dengan pemberian obat penenang. Pada pasien hemoptysis yang terancam jiwanya, tindakan emergensi harus dilakukan untuk membantu jiwa pasien. Pertama yang perlu diperhatikan yaitu sirkulasi udara tetap lancar, restoring volume darah, tindakan bedah untuk menghentikan perdarahan.